“KLB yang digelar secara instan dan sangat ngebut tersebut pada akhirnya menetapkan Moeldoko sebagai Ketua Umum. Sungguh abal-abal, mereka semua tampak seperti mahasiswa baru di kampus yang pertama kali mengikuti kongres suatu organisasi. Tidak ada taktik, sungguh miskin strategi,” tukas Hinca.
Setelah perhelatan KLB itu, Hinca sebagai Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat pun memutuskan mengambil langkah tegas. Salah satunya, dengan memecat para kader yang dianggap telah menyimpang dari kesetiaan partai dan mengakibatkan ketidakstabilan internal.
“Harus diakui, kader-kader yang harus saya pecat adalah individu-individu yang pada suatu masa pernah bersama-sama membangun partai. Namun, kesetiaan terhadap nilai-nilai partai adalah ujian yang tak terelakkan dalam perjalanan politik. Keputusan ini sekaligus menjadi peringatan bagi semua kader bahwa dalam medan politik yang kompleks, integritas dan kesetiaan pada prinsip adalah fondasi yang tak boleh digoyahkan,” papar Hinca.
Hinca menekankan keputusan itu diambil karena Demokrat harus menghadapi upaya ‘pembegalan’ dengan serius. Apalagi, Demokrat merasa prihatin atas potensi keruntuhan demokrasi, yang paradoksnya bisa menghasilkan pemerintahan yang lebih melampaui keburukan masa orde baru.
Selain memecat kader yang dianggap berkhianat, Hinca menyebut Demokrat terus melakukan komunikasi intensif dengan para pemangku kepentingan seperti Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM (Menko Polhukam Mahfud MD) serta Menteri Hukum dan HAM (Menkumham Yasonna H Laoly).
“Untungnya, Pak Yasonna dan Pak Mahfud sedari awal tetap berdiri pada podium yang objektif. Saya menaruh hormat pada kedua orang tersebut. Tidak seperti rekannya di kabinet yang justru menjadi tukang begal,” kata dia.
Selanjutnya, pada 31 Maret 2021, Yasonna tegas menolak permohonan pengesahan hasil KLB tersebut. Penolakan itu menggunakan AD/ART Partai Demokrat yang terdaftar dan disahkan di Kemenkumham pada 2020 sebagai rujukan.
“Sesungguhnya, sejarah dan legalitas adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dalam konteks ini. Partai Demokrat mengacu pada kongres resmi yang dihadiri oleh seluruh pemilik suara yang sah, yang secara tegas mengangkat AHY sebagai ketua umum. Kami tetap merapatkan barisan dan senantiasa siap melawan!,” tukas Hinca.
Hinca justru mempertanyakan alasan Moeldoko ngotot ingin ‘membegal’ Partai Demokrat. Padahal, kekalahan Moeldoko dalam perebutan Demokrat bukan sekali dua kali terjadi, melainkan sudah 16 kali.
“Sudah tercatat 16 kali Moeldoko alami kekalahan di pengadilan. Fenomena ini memicu tanya, apa yang mendorong kegigihan dalam mengajukan gugatan meskipun kekalahan telah jelas menyertai?,” ungkap Hinca.
Di akhir pernyataannya, Hinca menyebut kemenangan ini merupakan persembahan para kader Demokrat untuk AHY yang tengah merayakan ulang tahun ke-45. Kemenangan ini bukan hanya sejarah bagi AHY, tapi juga bagi Demokrat.
“10 Agustus ternyata bukan hanya menjadi hari yang bersejarah untuk pribadi Mas AHY, namun juga menjadi tonggak sejarah bagi Partai Demokrat yang selamat dari upaya-upaya kampungan para pembegal dan penjegal partai. Horas,” tutup Hinca Panjaitan.