Jadi upaya “Telik Sandi” ikut memantau masalah yang terjadi di Pulau Rempang, karena adanya indikasi dari benturan dalam pertikaian perebutan kekuasaan antara bandar yang telah lama berkuasa di Wilayah Kepulauan Riau dan sekitarnya, dengan bandar besar baru yang ingin memperluas wilayah invasinya di Indonesia.
Dalam surat terbuka itu, Sri Eko Sriyanto Galgendu menyebut dengan masuknya PT. Makmur Elok Graha (MEG) sebagai anak perusahaan PT. Artha Graha Network (AG Network) yang bekerjasama dengan Perusahaan Xinyi Glass Holding Ltd, untuk mendirikan pabrik produsen kaca terbesar kedua di dunia, setelah yang ada di China akan mengucurkan nilai investasi sebesar Rp 387 triliun.
Yang patut dicermati juga, ungkap Sri Eko Sriyanto Galgendu, gairah perebutan kekuasaan usaha bisnis di Batam dan sekitarnya itu, karena proyeksi strategis masa depan jika Ibu Kota Negara di Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur itu kelak terwujud. Maka posisi Kepulauan Riau dengan titik sentral Pulau Rempang, akan memiliki nilai bisnis sekaligus politis. Dan posisi Kepulauan Riau sendiri relatif dekat dengan Laut China Selatan yang telah berulang kali dipersengketakan.
Pembacaan surat terbuka yang langsung disampaikan oleh Koordinator Presidium Forum Negarawan dihadapan sejumlah wartawan ini, pun ditayangkan secara meluas melalui Podcast dengan kata pembuka yang menyitir pepatah lama: perkelahian dua ekor gajah, telah membuat pelanduk mati di tengah pertarungan yang seru itu, kata lelaki asal Solo yang juga menjabat Ketua Umum Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia (GMRI) ini, dengan gaya teaterikalnya yang cukup dramatis dan puitis.
“Konspirasi investasi Terselubung ini yang perlu diwaspadai. Maka itu, pemerintah mesti waspada dan hati-hati”, tandas Sri Eko Sriyanto Galgendu menegaskan lewat surat terbukanya. Karena atas dasar keprihatinan dan kecemasannya itulah ia merasa perlu dan merasa wajib untuk menyampaikan secara terbuka kepada Presiden.
Kecenderungan dari para bandar memang, imbuh pengusaha kuliner yang terbilang sukses di kawasan Jakarta Pusat ini, dapat dipastikan akan selalu mengatas namakan kepentingan rakyat. Karena memiliki posisi strategis untuk digunakan sebagai bemper atau bantalan bagi para bandar tersebut. (Jacob Ereste)