“Berdasarkan kasus yang dilaporkan ke direktorat jenderal bina adwil pada tahun 2022, 22 persen dari 227 kasus (sekitar 50 kasus) merupakan permasalahan aset daerah,” papar Safrizal.
Kasus ini, sambung dia, sebagian besar disebabkan oleh tidak tertibnya administrasi pertanahan, seperti warkah/riwayat tanah sengketa yang tidak terdokumentasi dengan baik dan lengkap. Selain itu, faktor lainnya yaitu belum tercatatnya aset tersebut ke dalam sistem pencatatan atau pendokumentasian aset daerah, sehingga pemda sering kali mengalami kekalahan apabila permasalahan tersebut berlanjut ke dalam ranah perkara pengadilan.
Konflik pertanahan lainnya yang cukup banyak dilaporkan adalah terkait dengan permasalahan tanah ulayat yaitu sebanyak 16 persen atau sekitar 36 kasus.
Salah satu hal yang menjadi pemicu munculnya konflik tanah ulayat adalah belum terdata dan teregistrasinya tanah ulayat tersebut. Hal ini disebabkan karena masih banyak masyarakat hukum adat yang belum teridentifikasi dan belum melalui proses penetapan sebagaimana diatur dalam permendagri nomor 52 tahun 2014 tentang pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat.
Dalam hal ini, Safrizal menilai perlu adanya sinergisitas peranan pemda dan kemendagri dalam melakukan tata kelola terhadap masyarakat hukum adat yang merupakan mitigasi terhadap munculnya konflik tanah ulayat di daerah.
Hal lain yang menjadi penyebab sengketa dan konflik pertanahan adalah lambatnya pelaksanaan program pendaftaran tanah. Implikasi dari hal tersebut menyebabkan tanah menjadi idle (status quo), sehingga tidak bisa dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat maupun pembangunan.
“Kondisi yang digambarkan di atas berdampak bagi kedua belah pihak baik pemerintah daerah maupun masyarakat. Di satu sisi masyarakat tidak mendapatkan layanan terkait legalitas tanah yang telah dikuasainya, dan di sisi lain, pemerintah tidak dapat memaksimalkan pengelolaan kekayaan daerah untuk mendapatkan perolehan pendapatan asli daerah guna membiayai urusan pemerintahan lainnya,” ujarnya.
Karena itu, Safrizal berharap, pelaksanaan kegiatan rakor ini menjadi sarana untuk mendapatkan masukan mengenai perumusan penyusunan nota kesepahaman dan perjanjian kerja sama antara kemendagri dengan pemerintah daerah dalam pelaksanaan penanganan masalah dan konflik pertanahan di daerah.***