NGAWI, (otonominews.id) – Krisis pangan diperkirakan menjadi salah satu tantangan terbesar yang akan dihadapi masyarakat dunia menjelang tahun 2040 hingga 2050 mendatang. Bahkan Badan Pangan Dunia memprediksi akan terjadi peningkatan kebutuhan pangan sebesar 60 persen di tahun tersebut dibanding sekarang.
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menegaskan, hal ini harus benar-benar menjadi perhatian pemerintah pusat maupun pemerintah di daerah, termasuk di Kabupaten Ngawi, sebagai penghasil beras terbesar di Indonesia. Tidak hanya mencari solusi untuk swasembada, tapi juga mengambil peluang. Karena Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi lumbung pangan dunia.
“Apalagi Indonesia juga akan mengalami ledakan jumlah penduduk usia produktif, mencapai 70 persen populasi dari total penduduk di Indonesia. Ini artinya, Kabupaten Ngawi adalah salah satu penjaga kedaulatan pangan Indonesia. Sehingga, sudah seharusnya, orientasi pembangunan desa-desa di Kabupaten Ngawi terintegrasi untuk tetap memastikan Kabupaten ini sebagai Sentra penghasil Beras terbesar di Jawa Timur dan Indonesia,” ujar LaNyalla di acara Sarasehan dan Serap Aspirasi Masyarakat Asosiasi Kepala Desa Kabupaten Ngawi dengan tema “Otonomi Desa untuk Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat”, di Pendopo Widya Graha Bupati Ngawi, Jumat (24/11).
LaNyalla menilai tantangan untuk memaksimalkan potensi tersebut masih harus terus diperjuangkan. Karena kondisi di Indonesia dari data Kementerian ATR/BPN, setiap tahun alih fungsi lahan sawah menjadi non-sawah yang terjadi di Indonesia mencapai hampir sekitar 100 ribu hektare. “Artinya, kalau dalam 10 tahun, sudah satu juta hektare. Ini tentu harus dicegah dan dicarikan solusinya,” kata LaNyalla.
Indonesia juga memiliki persoalan tentang luasan lahan sawah yang dimiliki petani di Indonesia. Dihitung rata-rata, sekitar 80 persen petani di Indonesia memiliki lahan kurang dari satu hektare.
“Ini tentu menyulitkan bagi kita untuk mengejar swasembada. Apabila dibandingkan dengan petani di Thailand yang rata-rata memiliki lahan dua hektare. Belum lagi bila kita melihat apa yang dilakukan negara-negara lain, yang sudah menjalankan BioTeknologi Agrikultural dalam pertanian atau perkebunan mereka,” ujar LaNyalla.
Amerika Serikat misalnya, memiliki luas tanaman berbasis bioTeknologi terbesar di dunia, yaitu 75 juta hektare untuk tanaman kapas, kedelai, dan jagung. Sedangkan Brasil menggunakan BioTeknologi untuk tanaman kedelai dengan luas lebih dari 50 juta hektare. Begitu juga Argentina memiliki tanaman berbasis BioTeknologi seluas 23 juta hektare.
Sementara di Asia, India tercatat menggunakan tanaman berbasis BioTeknologi seluas 11,4 juta hektare. Sedangkan Cina, menggunakan BioTeknologi untuk menyulap lahan gurun mereka menjadi bisa ditanami.
“Pelajaran yang bisa kita ambil adalah orientasi pembangunan di sektor kedaulatan pangan sedang dilakukan oleh negara-negara di dunia ini. Tetapi Indonesia masih memilih jalan pintas, untuk impor bahan kebutuhan pangan dan Sembako. Ini karena adanya segelintir orang yang diuntungkan sebagai importir produk konsumsi,” ungkap LaNyalla.
Oleh karena itu, sudah seharusnya Indonesia menerapkan secara utuh kedaulatan negara dengan cara kembali kepada asas dan sistem bernegara yang sesuai dengan falsafah dasar bangsa dan negara ini, yaitu Pancasila. Perlu diketahui, perubahan atau amandemen konstitusi yang terjadi di tahun 1999 hingga 2002 telah mengubah asas dan sistem bernegara Indonesia. Sejak saat itu, Indonesia mengadopsi sistem bernegara ala barat yang individualistik dan ekonomi yang semakin kapitalistik liberal.