Aria Bima mencontohkan ketika lembaga survei terjun menurunkan kuesioner terhadap satu sampel yang sudah ditentukan dalam satu desa, RT, RW, harus meminta izin ke kapolsek. Kemudian dari Kapolsek ke Bhabinkatibmas, semua proses itu waktunya sepuluh hari sampai keluar izin.
“Sepuluh hari sudah diketahui titik mana sampel atau responden yang akan dituruni kuesioner yang ada. Ada kecenderungan sepuluh hari inilah sampel yang akan diambil sudah digarap,” jelas Aria Bima.
“Ini yang kami temukan, dan di situ secara metodologis memang mungkin bisa dipertanggugjawabkan. Tetapi kenapa sekarang untuk turun satu survei harus mengalami izin yang sedemikian menjadi tidak akademis. Ini yang perlu dicermati dan hasilnya ada kecenderungan orang-orang pikiran satu putaran akan dipaksakan oleh lembaga survei untuk bangun opini. Dan kami tidak ingin target itu akan diselesaikan dengan ketidaknetralitasan aparat,” jelas dia.
Pada kenyataannya, lanjut Aria Bima, ketika Ganjar Pranowo-Mahfud MD atau Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, partisipasi publik terlihat sangat tinggi.
Fenomena ini, lanjut dia, tidak masuk akal bila melihat opini publik menginginkan satu putaran.
“Itu yang menurut kami ada kecenderungan desain ini sering kami komunikasikan. Tentang apa hasilnya (dengan AMIN), ya, kita sepakat saja. Ada kecenderungan kami sepakat dua putaran,” tegas Aria Bima.