“Situasi itu tentu juga ikut mempengaruhi harga minyak dan gas di pasaran Internasional. Misal Harga Minyak mentah berjangka Brent pada akhir Desember lalu naik 92 sen, atau 1,2 persen, menjadi 80,31 dolar AS per barel pada 1445 GMT. Pasokan barang pangan juga ikut terpengaruh akibat konflik di Laut Merah tersebut,” sebut Capt Hakeng.
Terhambat atau berkurangnya pasokan minyak dan gas dunia juga akan berpengaruh terhadap harga minyak dan gas di Indonesia, Akibatnya efek domino terhadap kenaikan harga pangan atau bahan pangan pokok akan terjadi di Indonesia pula.
Selain itu berkaitan dengan Awak Kapal Dalam situasi berperang di wilayah itu, kata Capt Hakeng, “Kapal yang melalui alur pelayaran Laut Merah ada potensi disandera oleh pihak pemberontak Houthi. Posisi kapal dan awak kapal dapat sebagai tawanan kapal yang dibajak atau tahanan perang (prison of war),” jelas Capt Hakeng.
Lebih lanjut Capt Hakeng menyebutkan ada langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh perusahaan pelayaran nasional dalam menyikapi hal ini, “Setiap Pelaut WNI yang bekerja di kapal-kapal negara-negara yang melintas di wilayah Laut Merah atau daerah konflik, tentunya memahami risiko yang akan dihadapi. Menurut pandangan saya urgent dilakukan edukasi khusus bagi para Pelaut Indonesia, supaya mereka paham risiko yang mereka hadapi. Selain itu juga pelaut yang bertugas di daerah rawan konflik, yang dilalui harusnya mendapatkan tambahan kompensasi dari luar penghasilan pokok yang diterima. Premi asuransi juga bertambah bila melewati wilayah konflik (war risk zone). Karena faktor risiko bertambah, tapi kebanyakan asuransi kapalnya yang bertambah, sedangkan tambahan penghasilan bagi pelautnya seringkali dilupakan,” jelasnya.
Dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 84 Tahun 2013 Tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal, BAB III Perekrutan dan Penempatan Pelaut Ke Tempat Tujuan Atau Ke Kapal Dan Pemulangan (Repatriasi) Bagian Kedua Pasal 20 yang menyebutkan: “Apabila perusahaan keagenan awak kapal menempatkan pelaut di atas kapal yang berlayar melalui wilayah rawan konflik, maka pemilik dan operator kapal melalui perusahaan keagenan awak kapal wajib memberi kompensasi tambahan yang besarnya sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian kerja bersama antara pemilik operator kapal dengan serikat pekerja.”
Situasi konflik di Laut Merah secara tidak langsung membawa efek positif bagi dunia maritim dan pelaut Indonesia. “Termasuk juga tentunya bagi para pelaut Indonesia, karena pastinya dengan naiknya kebutuhan distribusi BBM, Gas dan Batubara ke Eropa serta China yang nantinya akan menggunakan Kapal, maka akan berimbas peningkatan kebutuhan pelaut yang akan bekerja di atas Kapal dimana tentunya Pelaut Indonesia bisa bekerja di atasnya. Disini kita bisa berperan dalam distribusi Crude Oil, Batu bara ataupun LNG. Jadi, harusnya kita bersiap, baik dari sisi komoditasnya maupun kapal-kapal pengangkutannya. Perusahaan pelayaran nasional harus dapat melihat peluang ini,” jelas Capt. Hakeng.
Capt Hakeng juga menegaskan Indonesia sebagai anggota Dewan International Maritime Organization (IMO) dalam kategori C untuk periode 2024-2025, harus dapat ikut berperan aktif dalam menyikapi kondisi di Laut Merah. “Indonesia dapat memberi pandangan dan kepentingan maritimnya di pentas Internasional. Dengan demikian, prestasi ini tidak hanya berdampak positif pada citra Indonesia di mata dunia, tetapi juga diharapkan memberikan manfaat konkret bagi masyarakat dan kelautan global.
“Indonesia harus memanfaatkan posisinya di Dewan IMO untuk mendukung jalur pelayaran internasional yang bebas dari segala macam gangguan. Sehingga tidak mengganggu pula rantai pasok pangan dan energi dunia. Indonesia harus menjadi pendorong untuk meningkatkan standar keselamatan pelayaran, perlindungan lingkungan maritim, dan berjalannya perekonomian di sektor maritim. Indonesia dapat meningkatkan kerja sama regional dan internasional yang erat, Indonesia dapat memainkan peran lebih besar dalam memecahkan tantangan global seperti keselamatan dan keamanan maritim,” pungkas Capt Hakeng. (*)