“(Para teradu) terbukti melakukan pelanggaran kode etik pedoman perilaku penyelenggara pemilu,” kata majelis hakim, yang dipimpin Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu DKPP Heddy Lugito yang disiarkan dalam YouTube DKKP, Senin (5/2/2024).
Hasyim dan komisioner KPU didalilkan telah menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wakil presiden pada 25 Oktober 2023.
Sebelumnya, seperti dimuat dalam keterangan tertulis DKPP, para pengadu menganggap itu tidak sesuai Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Sebab, para teradu belum merevisi atau mengubah peraturan terkait pasca adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023. Mereka menduga bahwa tindakan para Hasyim dan anggotanya membiarkan Gibran mengikuti tahapan pencalonan.
Dalam putusan DKPP, selain Hasyim, pelanggaran etik juga dilakukan oleh anggota KPU, Betty Epsilon Idroos, Mochammad Affifudin, Persadaan Harahap, Yulianto Sudrajat, Idham Holik, dan August Mellaz. Mereka diputus melanggar etik karena menerima pendaftaran putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden
Berkaca dari kejadian ini, Prof Djo mengusulkan kedepannya agar ada perbaikan sistem seleksi anggota KPU, BAWASLU, dan DKPP dengan membentuk panitia negara. Pasalnya, lembaga-lembaga itu sekarang sudah melenceng dari maksud pembentukannya pada awal reformasi tahun 1999 dulu, yaitu lembaga yang bersifat independen atau mandiri, tak berpihak kemanapun.
“Saya kan salah seorang perancang pembentuk KPU. Kita waktu itu merancang KPU sebagai lembaga yang tidak boleh diintervensi dan tidak boleh memihak kepada siapapun baik golongan partai politik dan kekuasaan. Isinya adalah orang-orang yang independen yang tak bisa diintervensi,” ungkap dia.
Ikhtiar tersebut berhasil dijalankan dan direalisasikan pada pada pemilu 1999. Pemilu 1999 dinilai sukses karena berjalan jujur, adil dan demokratis.
“Kami dulu merubah penyelenggara pemilu dari Lembaga Penyelenggara Pemilu (LPU) menjadi KPU tujuannya adalah agar penyelenggara pemilu tidak berpihak (independen) dan tidak dikendalikan pemerintah,” ungkap Prof Djo.
“Namun KPU sekarang sudah tidak independen. KPU sekarang seakan ‘didikte’ oleh pemerintah. Untuk itu kedepannya perlu dilakukan perbaikan,” tambahnya.[***]