“Sangat disayangkan dan sungguh ironi. Harusnya DKPP berani memutuskan memberhentikan Ketua KPU dari jabatannya,” kata dia menanggapi putusan DKPP yang menyebut Hasyim Asy’ari melanggar etik karena menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres.
Menurut Neni, ini bukan pertama kali Hasyim melakukan pelanggaran etik. Berkali-kali melakukan pelanggaran etik, dia menjelaskan, membuktikan ketua KPU telah mencederai proses penyelenggara pemilu dan merusak demokrasi.
Menurut Neni, jika penyelenggara pemilu terus-menerus melanggar etik, maka sangat dikhawatirkan terjadi distrust dari masyarakat kepada penyelenggara dan mendelegitimasi proses pemilu yang sedang berjalan.
“Jika tak bisa independen dan lebih berpihak pada kepentingan politik tertentu, publik menjadi ragu terhadap penyelenggara pemilu,” tutur dia. Ketua KPU, kata dia, semestinya memiliki rasa malu saat akademisi menyerukan etika politik.
Seruan memegang etika politik, menurut Neny, seharusnya dapat menjadi cermin bagi penyelenggaraan pemilu. Penyelenggara pemilu harus menjadi teladan dalam praktik menjaga etika. “Jika penyelenggara pemilu (melanggar etik) seperti ini, kepada siapa kita berharap pemilu dijalankan dengan integritas,” katanya.
Dia menuturkan, DEEP Indonesia meminta agar ketua KPU menyadari pelanggaran etiknya serta mundur dari jabatannya. “Terlalu sering pelanggaran etik terjadi, dan tak bisa membenahi moral, integritas, dan mengembalikan kepercayaan publik, maka lebih baik mundur,” kata Neni.
Sepatutnya, dia berujar, Hasyim tak melanjutkan jabatannya karena terbukti melakukan pelanggaran etik. “Hal ini akan menggerus kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu,” ucap dia.
Dalam putusan DKPP, selain Hasyim, pelanggaran etik juga dilakukan oleh anggota KPU, Betty Epsilon Idroos, Mochammad Affifudin, Persadaan Harahap, Yulianto Sudrajat, Idham Holik, dan August Mellaz. Mereka diputus melanggar etik karena menerima pendaftaran putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.[***]