“Jangan seperti yang dilakukan belakangan ini. Dimana mereka yang dipilih orang-orang yang sudah di-setting oleh pemerintah.Sedangkan orang-orang yang independen dan berintegritas tak lolos alias disingkirkan. Tanpa alasan yang jelas tiba-tiba nama tokoh berkelas, mumpuni dan kompeten hilang dari calon yang diseleksi,” ungkap Pro Djo.
Untuk merealisasikan tersebut, presiden terpilih mendatang harus merubah Undang-Undang Pemilu nomor 7 tahun 2017 terutama pasal yang mengatur tentang pemilihan pansel dan tata cara pemilihan Komisioner KPU.
“Dimana panitia pansel nanti berupa panitia negara yang anggotanya berisikan tokoh-tokoh bangsa dan orang yang betul-betul indepen dan berintegritas. Tidak perlu ada pejabat pemerintah di dalamnya,” terangnya.
“Kalau sekarang ini kan panitia panselnya ada dari pejabat Kemendagri. Tempat seleksinya bahkan di Kemendagri. Pola seperti itu harus dirubah,” kata Prof Djo.
Selain itu, agaknya dengan diserentakkannya tahun pemilu pada tahun 2024 ini mulai dari pileg, pilpres hingga pilkada, maka kita akan jumpa dengan pemilu lagi tahun 2029. Artinya, sekitar 4 tahun KPU termasuk Bawaslu akan “iddle” alias nganggur. Sementara gaji mereka harus dibayar terus. Ini pemborosan.
Saya menyarankan, kata Prof Djo: “agar semua anggota KPU dan Bawaslu diakhiri masa tugasnya tahun 2025, kecuali mereka yang berada di tingkat nasional tetap menjabat sampai akhir masa jabatannya guna menangani persoalan PAW, pergantian anggota DPR antar waktu.
Nanti, jelang pemilu 2029 baru diangkat lagi komisioner KPU dan Bawaslu.
Mengenai format Bawaslu dan DKPP ke depan baiknya diubah supaya lebih efektif. Sayang biayanya besar, tapi tak hasilkan apa-apa. Untuk ini perlu kajian yang mendalam. Itu tugas pemerintah baru hasil pemilu 2024,” pungkas Prof Djo.[***]