Terlebih, proses penghitungan suara Pileg yang dilakukan pada malam hingga dini hari semakin membuka ruang lebih luas bagi terjadinya praktik kecurangan pemilu.
“Sebab, pada waktu tersebut situasi di TPS sudah mulai sepi dari pengawasan masyarakat dan potensi kelengahan petugas akibat kelelahan atau mengantuk,” jelasnya.
Ketiga, motifnya cenderung untuk kepentingan politik segelintir elit daripada untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Haidar melihat wacana hak angket kecurangan pemilu bukan berasal dari masyarakat, melainkan dari pihak-pihak yang kalah dalam pemilu.
“(Hak Angket) Pertama kali dihembuskan oleh Ganjar Pranowo yang merupakan kader PDIP sekaligus salah satu kontestan Pilpres 2024. Kemudian didukung oleh partai pengusungnya dan partai pengusung Anies-Muhaimin,” ungkapnya.
Jika ditelusuri lagi, Haidar mengingatkan bukanlah kali ini saja PDIP mengusulkan hak angket terkait pemilu. Sebelumnya Masinton Pasaribu juga pernah mengusulkan hak angket pasca-putusan MK tentang batas usia capres-cawapres. Namun usulan itu akhirnya gagal karena tidak ditindaklanjuti oleh DPR.
“Sebelum pemilu diusulkan hak angket untuk menggagalkan pencalonan Prabowo-Gibran. Tidak berhasil. Setelah pemilu dan Prabowo-Gibran menang, diusulkan lagi dengan tajuk kecurangan pemilu. Apalagi ujungnya ditambahkan mendiskualifikasi Prabowo-Gibran dan memakzulkan Presiden Jokowi. Dari sini publik bisa menilai motifnya apa, tujuannya apa dan untuk kepentingan siapa,” pungkas R Haidar Alwi.