“Kalau memang mereka partai bisa melewati ambang batas, tapi toh dia kalah jumlah suara dengan kursinya dan kursi yang tujuh sudah terpenuhi, maka tetap tidak akan ada gunanya,” sambungnya.
Namun begitu, Syamsurizal tidak menyebutkan, dirinya mendukung atau menolak Putusan MK tersebut. Karena, menurut dia, yang paling substansial adalah tiap caleg harus mendapatkan suara setinggi-tingginya untuk meraih alokasi kursi yang tersedia.
“Katakanlah di Dapil A mereka membutuhkan 7 kursi, siapa yang bisa berebut jumlah kursi itu, siapa yang tertinggi, mereka yang bisa mengisi itu. Jadi, kalau memang mereka partai bisa melewati ambang batas, tapi toh dia kalah jumlah suara dengan kursinya dan kursi yang tujuh sudah terpenuhi, maka tetap tidak akan ada gunanya. Jadi turunkan saja atau bagaimana toh (ambang batas parlemen) tidak begitu besar manfaatnya,” jelasnya.
Sebagai informasi, MK memutuskan bahwa parliamentary threshold adalah inkonstitusional, alasannya, selain karena ditentukan tanpa dasar yang jelas, besaran ambang batas tersebut terbukti membuat pemilu yang diselenggarakan dengan menggunakan sistem proporsional justru menjadi tidak proporsional.
Akibatnya, tidak sedikit suara rakyat yang terbuang, karena partai politik dan calon wakil rakyat yang mereka dukung gagal masuk parlemen, lantaran terbentur ambang batas 4 persen suara sah nasional.
Karena itu, MK memerintahkan agar pembentuk undang-undang merevisi ketentuan ambang batas parlemen 4 persen tersebut untuk diberlakukan pada Pemilu 2029. Ambang batas parlemen 4 persen dari suara sah nasional masih bisa diberlakukan untuk Pemilu 2024 ini.