“Bila ada kenaikan biaya produksi di sektor hulu, pasti produsen akan menaikan harga. Lalu distributor akan menyesuaikan harga juga. Pedagang besar, agen, grosir hingga pedagang eceran juga akan menaikan harga agar tidak mengalami kerugian, sehingga yang paling adalah konsumen akhir, dalam hal ini mayoritas adalah rakyat kecil yang sehari-hari mengandalkan penghasilan harian,” ujar wakil rakyat asal Dapil Sumatera Barat II ini.
Nevi pun meminta pemerintah untuk tidak melakukan pembatasan BBM bersubsidi dan memaksa rakyat untuk beralih ke BBM non subsidi.
“Fraksi PKS sangat concern dan mengkoreksi kebijakan Pemerintah yang berdampak langsung merugikan masyarakat. Karena hingga saat ini Pemerintah belum memiliki alternatif pilihan yang harga dan kualitasnya setara dengan Pertalite. Bila Pertalite dibatasi, berarti rakyat dipaksa membeli barang mahal (Pertamax, Pertamax Turbo, Dexlite dan lain-lain),” tegas dia.
“Substitusinya nyaris tidak ada. Bahkan mobil listrik yang digembar – gemborkan, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar Nabati dan lain lain tidak diseriusi pemerintah,” sambung dia.
Dalam kesempatan ini, Nevi juga membandingkan harga BBM di Indonesia dengan negara-negara lainnya. Menurut dia, harga BBM di Indonesia termasuk yang sangat mahal dibandingkan dengan Negara lain.
“Tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Malaysia misalnya, yang pendapatan perkapita nya lebih tinggi dibanding Indonesia (bahkan 3 kali lebih tinggi dibanding Indonesia), tapi Malaysia menjual BBM lebih murah, US$ 0,433 atau setara Rp 6.826 per liter (data Global Petrol Prices pada Kamis, 1/2/2024). Begitu pun Arab Saudi, yang menjual BBM untuk rakyatnya seharga US$ 0,621 atau setara Rp 9.790 per liter,” kata Nevi.