Ia kemudian curiga, ketentuan soal pelanggaran Pemilu hukumannya sudah dipikirkan akan ringan sejak akan dibuat regulasinya. Pasalnya, kata dia, hukuman dalam ketentuan itu sekarang dianggap tak membuat jera.
“Saudara tahu nggak satu tahun dalam penjara? Prakteknya cuman 6 bulan paling lama. Paling lama 6 bulan di penjara itu bukan sesuatu yang membuat kita jadi jera, kapok; tidak. Hanya sementara waktu pindah rumah. Pindah tempat tidur sebetulnya,” katanya.
Untuk itu, ia menilai hal itu sangat memprihatinkan. Menurutnya, frasa pelanggaran tak cocok untuk pemilu, seharusnya diubah menjadi kejahatan.
“Harusnya kejahatan pemilu kalau hukum pidana bukan pelanggaran. Di KUHP kata pelanggaran saja sudah di hapus copyan terbaru hanya kejahatan. Hanya tindak pidana, tidak ada lagi. Jadi istilah lalai, kelalaian itu sudah tak ada apalagi lalai kemudian memalsukan suara lalai mengintimidasi mana ada lalai,” tuturnya
Ia pun menyarankan, usai sengketa Pemilu semuanya selesai, DPR dan Pemerintah sebaiknya merevisi kententuan soal pelanggaran pemilu dalam UU Pemilu.
“Segara setelah Pemilu selesai evaluasi lagi undang-undang Pemilu. Kalau saya usulkan kalau tidak sanggup membuat norma yang jelas tegas juga diterent hapus ketentuan pidana, taruh saja di ketentuan pidana umum lebih besar 4 tahun dia penjara,” kata dia.
“Maksimal juga satu tahun ada pidana juga sampe 12 juta jadi lebih besar kejahat-kejahatan biasa dibandingkan korupsi suara rakyat yang ratusan juta korbannya. Korban materiil coba bayangkan ada yang gila peristiwanya,” imbuhnya.