“Akan berbeda kalau perselisihan hasil Pemilu itu tidak berkaitan dengan problematika yang diakibatkan oleh Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Jadi inilah salah satu dilema terbesar keadilan Pemilu 2024.”
“Karena institusi formal yang diberi tugas menyelesaikan masalah hukum Pemilu, itu adalah bagian dari masalah hukum itu sendiri, yaitu adanya putusan 90,” terang Titi.
Karena itu, lanjut Titi, beralasan dan relevan partisipasi dan peran masyarakat di dalam mengawal Pemilu yang autentik itu bisa dihadirkan melalui koridor-koridor alternatif, yaitu Mahkamah Rakyat di beberapa negara. Karena institusi atau mekanisme formal, itu masih menjadi suatu keragu-raguan oleh pihak-pihak yang ingin memastikan keadilan Pemilu itu bisa terwujud.
Titi juga menjelaskan praktik Mahkamah Rakyat untuk mewujudkan keadilan Pemilu dalam lingkup Asia Tenggara itu bukan sesuatu yang baru. Misalkan Pengadilan Rakyat yang dibentuk oleh BERSIH di Malaysia.
“Jadi, Pengadilan Rakyat atau People’s Tribunal untuk memproses kecurangan Pemilu itu sudah pernah dipraktikkan di Malaysia yang diinisiasi oleh kawan-kawan BERSIH,” kata Titi.
“Jadi, mengapa kemudian kawan-kawan BERSIH mengadakan people’s tribunal untuk Pemilu ke-13 Malaysia pada 2013? Karena tadi ingin memastikan bahwa penilaian itu hadir dari pakar, dari pihak yang tidak terlibat dalam benturan kepentingan ketika institusi formal itu dianggap tidak cukup meyakinkan akan mampu melahirkan keadilan Pemilu,” jelas dia.
Dalam konteks Indonesia, menurut dia, rasa ketidakyakinan itu masih tersimpan pada kita.
“Karena Mahkamah Konstitusi yang menjadi bagian dari penyelesaian masalah hukum Pemilu terkait perselisihan hasil itu menjadi bagian dari problematika hukum yang kita hadapi di 2024 melalui putusan 90,” kata Titi.
Karena itu, Titi mengatakan mendukung upaya masyarakat sipil untuk mewacanakan mahkamah rakyat untuk perbaikan pemilu di masa mendatang.