Sulis mengharapkan hakim konstitusi mencabut Putusan MKRI No.90 tahun 2023 yang mengubah persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden boleh di bawah 40 tahun, namun telah memiliki pengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih melalui pemilu (anggota DPR anggota DPD, anggota DPRD, Gubernur, Bupati, dan Wali Kota).
Menurut Sulis, pencabutan tersebut akan memungkinkan institusi MKRI memiliki posisi tegas yang tidak berpihak pada segala peluang bagi praktik dinasti politik dan KKN.
“Keempat, mengingatkan Mahkamah Konstitusi agar memutuskan hasil Pemilu Presiden 2024 dengan menjunjung tinggi hal-hal berikut,” kata dia.
Poin a, lanjut dia, UUD 1945 sebagai fondasi penting melalui penghormatan pada konstitusionalisme demokratis sebagai fondasi dan spirit pencegahan penyalahgunaan kekuasaan, supremasi etika kenegaraan dengan mengacu pada bukti yang berbasis pada berbagai keadaban pemimpin bervisi ilmuwan etis yang profesional, anti-KKN demi menutup potensi korupsi pada kepresidenan sesuai UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, keadilan Substansi yang mengutamakan seluruh proses demokrasi serta
rasa keadilan masyarakat yang terlibat dalam proses demokrasi tersebut, melampaui batas-batas perselisihan tentang hasil penghitungan suara.
Poin b, kata Sulis, supremasi hukum. Dia menegaskan aturan hukum tidak boleh digunakan secara tidak benar untuk memaksakan atau mendorong maksud dan tujuan KKN ke dalam formalisme yang seakan-akan konstitusional.
Poin c, jelas Sulis, ada delapan parameter penilaian Pemilu Presiden 2024 melalui Hukum Pemilu Demokratis yang menjamin: (1) kepastian hukum, (2) kesetaraan warga negara yang tergambar pada daftar pemilih, kesetaraan keterwakilan dan pemungutan penghitungan suara, (3) persaingan bebas dan adil antar peserta Pemilu Presiden, (4) penyelenggara Pemilu yang mandiri, profesional berintegritas serta efektif dan efisien, (5) partisipasi pemilih dalam penyelenggaraan Pemilu, (6) proses pemungutan dan penghitungan suara serta rekapitulasi penghitungan suara berdasarkan tujuh asas Pemilu, (7) sistem penegakkan hukum dan penyelesaian sengketa Pemilu yang adil dan tepat waktu, (8) nir kekerasan.
“Kelima, MKRI harus mempertimbangkan bahwa segala hasil putusan mengenai sengketa Pemilu 2024 akan berdampak pada masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata dia.
Ada tiga alasan untuk melatari poin kelima ini, yakni menciptakan referensi kolektif dan sejarah bahwa pernah ada titik awal normalisasi KKN dan etika politik yang buruk; menjadi ruang baru politik tafsir nasionalisme masa depan yakni jika MKRI berani mengambil putusan berpihak pada supremasi etika politik sehingga sejarah babak baru Indonesia berani bertindak tegas terhadap kroni politik; mengugurkan Indonesia Emas 2045 akibat efek bola salju dari hilangnya integritas politik dan supremasi hukum, ; perlunya aturan baru untuk menguatkan eksistensi integritas bagi Pemilu-Pemilu berikutnya
“Aturan ini mengikat individu atau lembaga terkait agar bergerak menurut prinsip integritas. Ini mencakup, misalnya, menaikkan standar ataupun kualitas persyaratan baik itu menyangkut kompetensi dan rekam jejak individu ataupun menyangkut penyelenggaraan pemilu,” jelas Sulis.
Dalam pembacaan rekomendasi ini, hadir sejumlah aktivis prodemokrasi, antara lain Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid.