Kemudian, faktor lain yang memicu melemahnya Rupiah, Jahja meneruskan, adalah banyaknya dividen payout pada kuartal I 2024 oleh perusahaan besar. Hal ini, kata dia, disebabkan banyaknya investor asing dari perusahaan besar.
“Adanya pengurangan investasi di saham dan obligasi oleh asing dan adanya dumping dari asing, semua ini butuh Dolar, mau tidak mau exchange rate kita melampaui Rp 16.000,” lanjut Jahja.
Eskalasi konflik di Timur Tengah, menurut dia, itu dampaknya hanya sementara. Terlihat dari harga emas yang sempat melonjak ketika terjadi konflik dan sudah mulai kembali terkoreksi.
Terkait penurunan suku bunga The Fed, Jahja menuturkan Amerika Serikat memiliki beberapa skenario. Awalnya suku bunga The Fed diprediksi turun pada Mei, tetapi prediksi tersebut bergeser menjadi Juni.
“Terakhir yang saya dengar The Fed melihat ekonomi AS cukup baik, hanya inflasi yang belum mencapai target. Mungkin akan menunggu hingga Desember atau lebih ekstrem tahun depan menurunkan suku bunga, ini yg perlu kita amati,” pungkasnya.