“Lagi pula kalau Pilkada langsung, semua menikmati politisasi identitas. Oknum politisi penikmat politisasi identitas itu, hanya dengan memainkan intrik seperti gelandangan politik berjubah khilafah. Mengadu domba dengan sentmen agama. Memecah belah rakyat, membangun permusudah terselubung. Cara-cara semacam ini sangat membekas di masyarakat akibat Pilkada langsung,” jelas Habib Syakur.
Khawatirnya lagi, Habib Syakur menilai pemimpin daerah yang menang dalam Pilkada langsung, pada akhirnya akan memberi ruang yang lapang kepada gerakan radikal, intoleran, serta mengadaikan Pancasila demi kekuasaan.
Secara realistis, Habib Syakur menyadari himbauan Pilkada langsung ditiadakan ini nyaris tidak mungkin, karena sudah ada payung undang-undang yang mengaturnya. Tapi dengan ajakan menghapus Pilkada langsung setidaknya akan ada alarm, agar ekses negatif itu dicegah sejak dini.
“Maka butuh peranan aktif Densus 88 bersama rakyat, untuk menyadarkan masyarakat di daerah, betapa pentingnya kehidupan yang ber-Pancasila. Mewaspadai gerakan-gerakan radikal, pengasong khilafah dan anteknya,” jelas Habib Syakur.
Ulama Asal Malang Raya ini juga menyerukan agar Indonesia kembali lagi menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang berbasis pada pengamalan nilai-nilai Pancasila serta Pembukaan UUD’45 yang asli, supaya Indonesia tidak tercerak berai dengan kejahatan gerakan trans-nasional.
“Nilai-nilai Keindonesiaan yang selama ini kita rindukan, kok hilang oleh kepentingan-kepentingan kelompok yang hanya ingin menguasai Indoensia, mementingkan kepentingan kelompoknya. Mereka inilah yang selama ini telah mendustai rakyat Indonesia,” tuntas Habib Syakur.