“Saya cek lagi lebih, jauh ternyata Papua dan Papua Barat masuk dalam 6 provinsi dengan angka stunting terbesar. Papua di urutan ketiga dengan 34,6%, sementara Papua Barat di urutan ke enam (30%), ini berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan. Semua persoalan ini harus dicari akar masalahnya,” kata Filep lagi.
Lebih lanjut, pimpinan Komite I DPD RI itu mengutarakan beberapa poin mendasar berdasarkan pada data yang diperolehnya. Ia mengusulkan sejumlah langkah-langkah yang dapat dioptimalkan terkait kondisi kesehatan di Papua-Papua Barat.
“Pertama, persoalan cara hidup sehat. Masyarakat Papua butuh pendampingan yang serius seperti provinsi lainnya di Indonesia terkait cara hidup sehat. Sifatnya harus berkelanjutan. Jadi tidak hanya memberikan stok obat saja satu kali ke daerah dan membiarkan daerah survive sendiri. Kedua, persoalan tenaga kesehatan. Saya berkali-kali sudah sampaikan bahwa tenaga kesehatan di Papua sangat minim, terutama ketersediaan dokter dan dokter spesialis. Dalam rilis media sebelumnya, saya sudah sampaikan terkait hal ini,” ujarnya.
Kemudian, Ketiga, persoalan manajemen pengelolaan kesehatan, terutama Rumah Sakit. Menurutnya, perlu adanya evaluasi misalnya mengapa dokter-dokter tidak betah, bisa jadi dikarenakan manajemen RS yang belum profesional, mulai dari penggajian sampai penerimaan pegawai. Keempat, kelayakan fasilitas kesehatan, misalnya di RS.
“Di Papua saya lihat, masih banyak RS tipe pratama, di bawah tipe D, padahal di level Kabupaten. Seharusnya menurut saya, RS di level kabupaten di level C dimana menurut Pasal 17 ayat (3) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, RS tipe C menyediakan minimal 100 tempat tidur. RS kelas C paling sedikit menyediakan 4 medik spesialis dasar dan 4 spesialis penunjang medik sehingga masyarakat bisa menikmati pelayanan medik umum, gawat darurat, medik spesialis dasar, spesialis penunjang medik, medik spesialis gigi mulut, keperawatan dan kebidanan, serta pelayanan penunjang klinik dan non klinik. Nah kalau tipe di kabupaten saja masih pratama, sudah bisa kita prediksi kondisi kesehatan masyarakat,” jelas Filep.
“Tentu masalah-masalah ini tidak boleh dibiarkan terus terjadi. Dana Otsus kesehatan dan dana kesehatan dari DBH Migas semestinya bisa digunakan secara optimal guna menyelesaikan masalah-masalah ini. Saya meminta kepada pemerintah pusat dan daerah, provinsi dan kabupaten, untuk serius menangani hal ini,” pungkas Filep.