Aang melanjutkan, implementasi KIP seharusnya bisa lebih baik di era keterbukaan informasi seperti sekarang. Terlebih, era konvergensi media saat ini membuat tidak ada lagi sekat-sekat publik mendapatkan berbagai informasi.
Namun demikian, pemahaman soal keterbukaan informasi juga mesti disesuaikan dengan dinamika masyarakat yang terjadi.
“Kalau bicara tentang membaca dan mengerti aturan kita sama-sama mengetahui secara eksplisit, tetapi bagaimana memahami ketika kita dihadapkan dengan dinamika masyarakat secara langsung tentunya harus juga kita memahami informasi mana saja yang dikecualikan,” ungkapnya.
Dia mengakui, pengelolaan informasi yang berkaitan dengan barang/jasa dan administrasinya memang tidak mudah. Namun, setidaknya ada dua hal penting yang dapat dijadikan pegangan. Pertama, aturan, dan kedua analisis urgensi kepentingannya dari mendapatkan informasi tersebut.
Di satu sisi, Aang menekankan kembali soal komitmen, pemahaman dan literasi terkait KIP secara khusus informasi pengadaan barang dan jasa.
Di sisi lain, ia juga meminta Pemda agar mampu menganalisis jenis-jenis informasi yang dikecualikan, seperti: Informasi yang bisa menghambat proses penegakan hukum, mengganggu kepentingan perlindungan HAKI dan perlindungan persaingan usaha tidak sehat, membahayakan pertahanan dan keamanan negara, mengungkapkan kekayaan alam Indonesia, mengganggu ketahanan ekonomi nasional dan sebagainya yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang–Undang.
“Kita juga perlu menganalisa apa kepentingannya, apa niatnya dari pemohon informasi dan tentunya kita juga memiliki rambu-rambu, hak, terkait dengan informasi yang dikecualikan,” tandasnya.