Kemudian, sorotan dari Komite Hak Asasi Manusia Persatuan Bangsa-Bangsa, hal mana belum pernah terjadi dalam pemilu sebelumnya.
Sulis juga menilai hukum sudah menjadi alat rekayasa politik untuk kepentingan kekuasaan. Dia menduga itu terlihat dari berbagai instrumen hukum yang akan disegerakan pengesahannya dalam masa lame duck pemerintahan.
Di antaranya adalah hukum terkait masalah Penyiaran, Kepolisian Negara, Tentara Nasional Indonesia, Mahkamah Konstitusi, dan Kementerian Negara. Berbagai pasal dalam instrumen hukum itu menukik pada esensi demokrasi dan hak asasi manusia.
“Misalnya akan hilangnya kebebasan berekspresi dan kebebasan pers dalam menyajikan temuan investigatif dalam RUU Penyiaran. Atau perluasan kewenangan kepolisian dalam RUU Polri, padahal polisi adalah alat negara yang menjaga keamanan dan keterbitan bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat dan menegakkan hukum,” jelas Sulis
Tak hanya itu, Sulis juga mengkritisi berbagai kebijakan eksekutif di tingkat nasional yang
dirumuskan diam-diam, selanjutnya ramai dibicarakan di ruang publik, dan mendapatkan reaksi keras, hingga lalu dibatalkan. Misalnya adalah kebijakan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan soal Uang Kuliah Tunggal (UKT).
“Lalu kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA) yang proses pembuatannya tampak tidak didasarkan regulatory impact analysis yang memadai,” tandas Sulis.
Dalam acara kuliah umum ini, hadir sejumlah guru besar, aktivis, politisi, hingga akademisi. Mereka ialah Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, ahli filsafat Rocky Gerung, eks pimpinan KPK Bambang Widjojanto (BW), dan eks pegawai KPK Novel Baswedan. Termasuk juga Todung Mulya Lubis.
Hadir juga aktivis Usman Hamid dan Sumarsih. Lalu sejarawan yang juga politikus PDIP Bonnie Triyana, ekonom Faisal Basri, dan politisi PDIP Guntur Romli.