Oleh: Airlangga Pribadi Kusman Ph.D (Pakar Politik Universitas Airlangga, Surabaya)
JAKARTA – Sehubungan dengan pemanggilan Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto oleh KPK sebagai saksi terkait dengan kasus penyuapan yang melibatkan Harun Masiku dan mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan, peristiwa ini memicu berbagai kontroversi di ruang publik terutama terkait dengan indikasi terjadinya politisasi hukum dalam kasus tersebut.
Mempertimbangkan terkait kemungkinan tampilnya tendensi politik dari kasus tersebut, sepertinya dugaan tersebut sangat mungkin terjadi mengingat bahwa secara regulasi kelembagaan setelah ditetapkannya revisi UU KPK tahun 2019, dengan disahkannya UU No.19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah memasung independensi KPK dengan menempatkan KPK di bawah/subordinasi lembaga eksekutif khususnya presiden. Hal ini memberikan ruang bagi KPK untuk digunakan menjadi instrumen bagi kekuasaan.
Hal tersebut menjadi awal rangkaian dari pembalikan reformasi di Indonesia, ketika regulasi pemberantasan korupsi menjadi bagian yang rentan dimanfaatkan sebagai alat politik, dan dengan demikian tata kelola pemerintahan memungkinkan penggunaan instrumen hukum bagi pelemahan supremasi hukum itu sendiri.
Sehubungan dengan pemanggilan kepada Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, kondisi-kondisi yang memungkinkan kasus ini mengalami proses politisasi hukum bisa dilihat bahwa, Hasto sendiri merupakan politisi yang beberapa waktu ini dikenal memiliki suara yang kritis terhadap kekuasaan, ditengah terjadinya pelemahan demokrasi dan mundurnya tatanan kekuasaan yang kredibel dan menjunjung tinggi tatanan konstitusional.