Kusnadi rupanya tidak bertemu Hasto di lantai dua Gedung KPK dan yang bersangkutan malah diperiksa secara paksa serta barang bawaan disita.
“Tindakan Kompol Rossa kepada Kusnadi menunjukkan aksi kesewenang-wenangan penyidik KPK dalam mengusut perkara”
“Hal itu kemudian menjadi pemaksaan dan sebenarnya sudah terkait dengan di situ kelihatan bahwa penyidik sudah melampaui otoritas yang ada pada dirinya. Nah, ini, kan, merupakan bentuk perilaku kesewenang-wenangan dalam hukum, dimana kemudian justru melanggar supremasi hukum itu sendiri yang harus ditegakkan,” kata Airlangga.
Airlangga juga menilai peristiwa Kompol Rossa menyidik paksa Kusnadi dengan cara mengelabui menyiratkan proses hukum ke Hasto kental muatan politik.
Terlebih lagi, katanya, KPK saat ini menjadi lembaga di bawah eksekutif yang berpotensi digunakan untuk menghantam suara kritis menggunakan alat hukum.
“Kalau saya, sih, melihat bahwa potensi bagi terjadinya kriminalisasi politik dalam kasus yang dihadapi Mas Hasto itu sangat mungkin, karena sudah sejak lama saya melakukan kritik bahwa konsekuensi dari Revisi Undang- Undang Komisi Tindak Pemberantasan Korupsi, jadi Undang-Undang nomor 19 tahun 2019, yang kemudian mensubordinasi KPK di bawah eksekutif, presiden, yang tadinya independen.”
“Itu sangat rentan sekali membuat KPK sebagai alat kekuasaan untuk menghantam kekuatan-kekuatan politik yang berbeda, bertindak dengan dirinya, ya, memang ini bagian dari konsekuensi proses tersebut, di mana kemudian yang saya bilang rentannya KPK sebagai alat dari presiden, alat dari kekuasaan, ini, kan, yang harus diperbaiki,” papar dia.
“Artinya kasus yang dihadapi oleh Mas Hasto itu adalah lapisan, semata-mata lapisan gunung es dari salah urus, pembalikan reformasi dalam regulasi kita terkait dengan pemberantasan korupsi,” kata dosen departemen politik di FISIP Universitas Airlangga, Surabaya itu.