“Jadi, proses penegakan hukum yang selektif ini yang menjadi akar kerusakan demokrasi kita, karena itu kami mengimbau kepada pemimpin utk menegakkan hukum seadil-adilnya, agar apa? Agar tidak terjadi ketidakadilan, tidak terjadi diskriminasi yang menimpa warga negara sendiri,” ungkap peraih doktoral University Harvard itu.
Sementara itu, Sukidi dalam diskusi menyinggung soal kerusakan dan pembunuhan demokrasi bermula dari hukum yang dipakai untuk senjata politik seperti diungkapkan Steven Lewitsky dan Daniel Ziblatt.
“Ini menjadi salah satu faktor penting mengapa demokrasi kita mengalami kerusakan yang sedemikian parah. Kenapa? Karena salah satu penjelasannya adalah hukum itu dipakai sebagai senjata politik. Pertama, hukum itu dipakai sebagai senjata politik terutama untuk menekan para pesaing politik,” ujar dia.
Sukidi menjelaskan soal hukum yang dipakai untuk senjata ialah para pesaing politik dari rezim terpimpin ditekan menggunakan hukum, sedangkan mereka yang membersamai kekuasaan memperoleh proteksi.
“Lewitsky dan Ziblatt sadar betul bahwa the law enforcement itu memang penting, tetapi ketika penegakan hukum dilakukan secara selektif, apa yang oleh Daniel Ziblatt dan Steven Lewitsky disebut sebagai selective enforcement. Maka yang terjadi adalah para pesaing, para musuh, dan mereka yang kritis terhadap kekuasaan akhirnya menjadi target,” urai Sukidi.
“Sekarang yang sebenarnya kita rasakan itu adalah pertanyaan apakah anda menjadi target atau tidak. Kalau soal kesalahan, kekeliruan bisa dicari, tetapi selective enforcement itu mendefinisikan penegakan hukum dalam kategori bahwa karena anda rival, karena anda musuh dari kekuasaan, maka anda akan kami tegakkan aspek hukumnya,” ungkapnya.