Semua hal yang memprihatinkan ini bisa dilihat bagaimana alokasi anggaran pendidikan tinggi dan pendidikan secara keseluruhan, yang salah sasarn. Alokasi anggaran yang diamanatkan konstitusi jelas, yakni 20 persen untuk pendidikan. Dari 20 persen dana pendidikan atau 665 trilyun tersebut, lebih dari separuh tersebar ke daerah dan desa dengan alokasi untuk opendidikan dan pengeluaran yang tidak jelas dan tidak terkait dengan pendidikan.
Bahkan selain dana pendidikan tersebut tersebar acak tidak jelas dan banyak penggunaannya untuk bukan tujuan pendidikan, ada dana yang tidak digunakan dan disimpan, yakni sebesar 47,3 trilyun rupiah. Kalau tidak digunakan berarti tidak ada manfaat sama sekali atau manfaat nol untuk pendidikan.
Sesuai amanat pasal 31 UUD 1945, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Untuk mendapat pendidikan tersebut, maka amanat konstitusi tegas, yakni memandatkan pemerintah sekurang-kurangnya 20 persen dialokasikan untuk pendidikan. Tetapi fakta di lapangan seperti uang kuliah mahal, protes mahasiswa Indonesia, perguruan tinggi negeri tidak mendapat alokasi yang memadai, ada indikasi mark up biaya pendidikan tinggi di luar kemendikbud, dan banyak masalah alikasi 20 persen ini menandakan adanya penyimpangan politik pendidikan. Ini pelanggaran yang terkait konstitusi dan mungkin manjadi titik lemah di politik nasional karena bisa dipakai sebagai pintu masuk pemakzulan di kala pemerintah lemah. Masalah ini bisa ditarik sebagai pelanggaran atas konstitusi, yakni pasal 31 UUD 1945.
Sebaiknya pemerintah baru memikirkan carut marut politik pendidikan seperti sekarang ini, khususnya politik pendidikan tinggi sehingga perguruan tinggi negeri. Arah. Alokasi dana yang menyimpang mesti diperbaiki.
Prof. Didik J Rachbini, MSc. PhD.
Rektor Universitas Paramadina