Isu pertama, kepala daerah yang merangkap sebagai ketua ataupun pengurus parpol dianggap dapat menggunakan pengaruh/kekuasaan politiknya dalam musim pilkada yang dapat menguntungkan partainya sendiri dan merugikan partai lain. Tentu saja hal ini menimbulkan situasi yang tidak objektif lagi dalam demokrasi lokal. Larangan tersebut setelah sempat mengalami perdebatan akhirnya disepakati oleh Komite I dan PPUU dengan catatan bahwa kepala daerah masih dapat tetap terafiliasi dengan parpol sepanjang berstatus sebagai anggota biasa.
Selanjutnya, isu kedua adalah terkait dengan Pok-kir DPRD. DPD RI menyusun dasar hukum agar Pokkir tidak bermasalah secara hukum, dan membatasi keterlibatan anggota DPRD yang terlibat langsung dalam pelaksanaan program yang dianggap urusan eksekutif yang sebenarnya bukan ranah DPRD.
Ketua Komite I Senator Fachrul Razi mencoba meluruskan tafsiran bahwa Pok-kir yang sudah berlangsung selama ini sama sekali tidak akan dihapuskan. Hanya saja, fokus kegiatannya yang akan digeser, tidak lagi mengarah kepada pelaksanaan program dan kegiatan yang masuknya ke ranah eksekutif, akan tetapi didudukan kembali ke ranah yang seharusnya menjadi bidang tugas DPRD, yaitu Pok-kir yang terkait dengan menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.
“Dalam draf RUU Pemda kami mencoba menekankan dan melindungi kepala daerah, DPRD dan Birokrasi agar tidak bermasalahan secara hukum,” tutup Fachrul Razi.