“Makanya ini harus clear. Kalau misalnya berdimensi politik, pertanyaannya itu kan untuk kepentingan siapa? Kalau misalnya Pilkada, berarti ada kekuatan-kekuatan partai politik yang lain. Nah partai politik mana yang bermain?,” tukas Alfons.
“Kalau misalnya (tindakan terrhadap Hasto dan Kusnadi, red) terkait dengan kritik-kritik, siapa yang dikritik Hasto Kristiyanto ketika itu? Ini harus dilihat gitu. Dan kemudian misalnya karena residu pilpres, berarti antara siapa dengan siapa? Gampang saja, ini yang mana ini? Sehingga itu direspon oleh aparat hukum yang sebenarnya tidak mempunyai peran untuk melakukan tindakan-tindakan hukum,” tambah dia.
Alvon pun menyebut bahwa masalah ini bisa masuk ke kategori kasus pidana yang dipaksakan.
“Ini sebenarnya bisa dikategorikan menjadi suatu pidana yang dipaksakan,” jelas dia.
Alvon pun menjelaskan, jika hukum untuk membela hak asasi manusia guna mencari keadilan disebut interest of justice.
“Tetapi ketika kekuasaan dipergunakan untuk pidana keadilan, itu dinamakan sebagai obstruction of justice. Ini yang terjadi pada saat ini. Ketika penggunaan kekuasaan, atau apapun hukum oleh kekuasaan, itu yang dinamakan sebagai obstruction of justice. Menghalangi keadilan itu sendiri. Kalau semisal bermotif politik gitu kan, apapun hukum yang melakukan itu, itu dinamakan sebagai malicious prosecution, penuntutan jahat. Hal ini sebenarnya harus diclearkan pada saat ini,” jelasnya.
Alvon pun mengingatkan, tidak boleh hukum digunakan untuk menyingkirkan lawan politik.
“Hukum ya untuk hukum,” tutur dia.
“Jangan sampai kekuasaan ini menjadi abuse. Dan jangan juga dipergunakan untuk sesuatu yang jahat atau malicious prosecution,” pungkasnya.