Terkait penyelesaian konflik pertanahan, AHY mengungkapkan bahwa salah satu persoalan yang dihadapi adalah masih banyaknya tumpang tindih (overlap) antara tanah-tanah masyarakat dengan tanah-tanah kehutanan. banyaknya konflik agraria yang diakibatkan tumpang tindih antara tanah masyarakat dengan Hak Guna Usaha (HGU); tanah masyarakat dengan aset negara; tanah masyarakat dengan kawasan pertambangan; serta konflik terkait tanah-tanah ulayat masyarakat hukum adat.
Masih sejalan dengan program PTSL dan sertipikat elektronik, saat ini kementeria ATR juga sedang merevisi PP No. 18 Tahun 2021 terkait pemberian hak atas tanah dalam mendukung pelaksanaan carbon trading; untuk lahan dengan peruntukan jasa lingkungan. Progres revisinya, saat ini sudah mencapai Pembahasan Pra-Panitia Antar Kementerian (PAK). Harapannya, setelah revisi PP ini diberlakukan, maka masyarakat dan dunia usaha akan mendapatkan kesempatan yang luas untuk terlibat dalam perdagangan karbon. Carbon trading is our future. “Bayangkan, selain kita bisa menjaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan, perdagangan karbon juga memberikan nilai tambah ekonomi yang signifikan bagi negara” lanjut AHY
Pada bagian akhir, Wakil Komite I Sylviana Murni mengusulkan supaya lahan-lahan di daerah yang statusnya tidak jelas dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat. Komite I juga meminta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN RI untuk memastikan keamanan digitalisasi sertifikat tanah melalui penguatan Pusdatin. mengingat saat ini sangat rawan terjadi serangan cyber oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Komite I juga mendorong Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN RI untuk terus berkolaborasi dengan Aparat Penegak Hukum dan Pemerintah Daerah dalam penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan serta pemberatasan mafia tanah beserta jaringannya di daerah.
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi
Nama: Fahri Okta Syakban
Jabatan: Kabag Sekretariat Komite I
No HP: 081317187534