“Akhirnya jadi sabtu kelabu. Makanya, 28 tahun ini luar biasa, pas jatuh di hari sabtu. Sabtu jam 05.00 pagi, belum ada handphone, adanya pager ‘DPP sudah diserbu’,” tutur dia.
Ribka yang mendengar kabar tersebut, langsung lari dari Ciledug dan hanya bisa sampai di YLBHI. “Di YLBHI saya merawat orang dan menjahit. Klinik saya di sini (DPP PDI) sudah hangus. Saya suruh teman di PRD ke klinik, saya menjahit benang jahit baju tanpa bius. Termasuk Munir kelingking sebelah kiri dihantam, dia remuk,” cerita dia.
Meski tanpa bius, dan benang jahit baju, menurut Ribka tak ada infeksi. “Karena itulah setiap tahun saya mendisiplinkan diri untuk selalu memperingati dan hadir,” tuturnya.
Pasalnya, 27 Juli 1996 adalah tonggak reformasi. Di mana menurutnya, tanpa reformasi, tidak ada anak buruh bisa jadi gubernur. “Tidak ada petani bisa jadi bupati wali kota, tidak ada anak tukang kayu jadi presiden,” tutur Ribka.
Ribka juga mengungkapkan, 27 Juli bukanlah hanya milik PDIP, tapi juga sejarah bangsa Indonesia. Sehingga tak boleh ada pihak uang mengkerdilkan Kudatuli, karena itu adalah simbol perlawanan terhadap rezim yang mencoba membungkam suara rakyat.
“Kalau dulu pakai penculikan. Kalau sekarang pakai perangkat hukum kalau tidak sejalan sama pemerintah, pakai perangkat hukum dicari-dicari. Harapannya korban 27 juli supaya ini terselesaikan. Dorongan kita harus masuk ktiteria pelanggaran HAM berat,” jelasnya.
Dalam acara tersebut, putra Wiji Thukul Fajar Merah menyanyikan dua buah lagu yang berdasarkan dari tulisannya sendiri. Adapun dua lagu itu berjudul Tersesat dari Gulita dan Nyanyian Kami.
Menurut dia, lagu Tersesat dari Gulita terinspirasi karena banyak tragedi di Indonesia ini.
“Di mana kita menjadi buta, bahwa kita sama-sama manusia tetapi banyak konflik yang menumbuhkan kebencian. Justru yang dihilangkan adalah kebencian tersebut,” kata Fajar sebelum menyanyikan lagu tersebut.