Mundurnya Airlangga bisa dilihat sebagai bentuk perlawanan, atau sebaliknya, sebagai pengakuan bahwa tekanan yang ada sudah terlalu berat untuk ditanggung.
Dampaknya, ketidaksolidan KIM ini bisa menyebabkan perubahan besar dalam peta politik menuju Pilpres 2024. Koalisi yang terlihat kuat di permukaan mungkin sebenarnya rapuh, dan pengunduran diri Airlangga hanya mempertegas keretakan yang ada.
Ini juga membuka peluang bagi partai-partai lain untuk mengambil keuntungan dari situasi ini, baik dengan menarik simpati pemilih Golkar yang merasa terabaikan atau dengan meraih aliansi baru yang lebih stabil.
Kejadian Serupa Tokoh Politik Dunia
Keputusan untuk mundur di tengah situasi krisis politik bukanlah fenomena yang baru. Sejarah politik dunia mencatat beberapa tokoh penting yang mengambil langkah serupa di masa-masa sulit, baik karena tekanan internal partai, kekalahan politik, maupun perubahan strategi.
David Cameron (Inggris, 2016), mundur sebagai Perdana Menteri Inggris dan pemimpin Partai Konservatif setelah hasil referendum Brexit yang tidak sesuai dengan kampanye yang dia dukung. Cameron yang mendukung Inggris tetap di Uni Eropa merasa tidak memiliki legitimasi lagi untuk memimpin setelah hasil referendum menunjukkan mayoritas memilih Brexit.
Langkah Cameron ini mirip dengan situasi yang mungkin dihadapi Airlangga, di mana keputusan untuk mundur diambil karena perbedaan visi dengan situasi politik yang berkembang.
Angela Merkel (Jerman, 2018), mengundurkan diri sebagai Ketua Umum CDU pada 2018 di tengah tekanan yang meningkat dari dalam partai dan hasil pemilu regional yang buruk. Merkel, yang telah lama memimpin partai dan negara, memutuskan untuk mundur demi memberikan ruang bagi regenerasi kepemimpinan.
Langkah ini dapat dibandingkan dengan keputusan Airlangga, yang mungkin juga didorong oleh kebutuhan untuk memberikan kesempatan kepada pemimpin baru di Golkar.
Tony Blair (Inggris, 2007), Tony Blair mundur sebagai pemimpin Partai Buruh dan Perdana Menteri Inggris setelah tekanan internal partai terkait kebijakan luar negerinya, terutama keputusannya untuk mendukung invasi Irak. Blair menghadapi penurunan dukungan yang signifikan, yang akhirnya memaksanya untuk menyerahkan kepemimpinan kepada Gordon Brown.
Kasus ini mirip dengan Airlangga, di mana tekanan internal dan ketidakpuasan terhadap kepemimpinan dapat mendorong keputusan untuk mundur.
Penutup
Pengunduran diri Airlangga Hartarto dari jabatan Ketua Umum Partai Golkar menandai babak baru dalam situasi politik Indonesia yang terus bergejolak. Langkah ini, yang diambil di tengah situasi politik yang sarat dengan kontroversi dan tantangan, menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai arah masa depan Partai Golkar serta dinamika politik nasional menjelang Pilkada dan Pilpres 2024.
Dengan membandingkan situasi ini dengan kasus-kasus serupa di berbagai negara, kita bisa melihat bahwa keputusan Airlangga bukanlah hal yang unik, melainkan bagian dari pola global di mana pemimpin politik memilih mundur untuk menghindari krisis yang lebih besar atau membuka jalan bagi regenerasi kepemimpinan.
Dalam konteks ini, Partai Golkar kini berada di persimpangan jalan, apakah akan mampu bangkit dengan kepemimpinan baru yang lebih segar, atau justru terjebak dalam krisis yang lebih dalam.
Di sisi lain, bagi Airlangga, pengunduran diri ini mungkin membuka peluang baru dalam karier politiknya, atau setidaknya, menjaga nama baiknya di tengah badai politik yang sedang melanda Indonesia.
Bagaimanapun juga, langkah ini menambah ketidakpastian di panggung politik Indonesia yang sudah kompleks, dan hanya waktu yang akan menjawab bagaimana dampak dari pengunduran diri ini terhadap masa depan Golkar, Koalisi Indonesia Maju, dan demokrasi di Indonesia secara keseluruhan.[***]