Sementara itu Dokter Peneliti dari Universitas Oxford Dr. Calum Miller tidak memungkiri banyak stigma di masyarakat bahwa aborsi merupakan salah satu solusi dari korban pemerkosaan. Namun berdasarkan penelitian yang ada, lanjut dia, mayoritas orang yang menjadi korban pemerkosaan justru tetap melanjutkan kehamilannya sampai bayinya lahir.
“Sering kali orang-orang yang melakukan pemerkosaan menginginkan wanitanya melakukan aborsi demi menutupi pelanggaran mereka,” ucap Miller.
Di negara asalnya Inggris, Miller bercerita bahwa pelaku pemerkosaan itu bisa ditangkap dengan melakukan tes DNA antara terduga pelaku dengan si bayi yang baru dilahirkan. Jika dilakukan aborsi maka pelakunya bisa bebas dan tidak harus bertanggung jawab.
“Tidak banyak penelitian tentang kesehatan mental terkait situasi ini, tapi ada penelitian yang menunjukkan bahwa wanita yang melakukan aborsi setelah pemerkosaan malah menyesali tindakannya,” tutur dia.
Miller mengatakan, penelitian yang ada menyebutkan bahwa stigma dari lingkungan sosial lebih membuat kaum perempuan tersiksa dibanding kejahatan seksual tersebut. Kata dia, stigma bukan diselesaikan dengan cara aborsi tapi dengan menyelesaikan persoalan yang dihadapi korban itu di mata hukum.
“Kita harus menyelesaikan akar dari masalah ini dengan mencegah adanya pemerkosaan, dan membuat orang yang memperkosa untuk bertanggung jawab di mata hukum. Termasuk memberikan perempuan tersebut dukungan yang mereka butuhkan untuk mengatasi trauma yang ada, bukan dengan menghilangkan nyawa dari bayinya,” ucapnya.
Meski tidak dibenarkan untuk melakukan aborsi, lanjut dia, tapi ada kondisi tertentu bahwa praktik ini memang dianjurkan. Misalnya nyawa si ibu yang mengandung bayi akan terancam keselamatannya setelah dicek melalui pemeriksaan medis.
“Kita tidak boleh punya maksud untuk mengakhiri nyawa seorang anak (bayi) tapi ketika nyawa ibunya dalam bahaya, sebagai penanganan terakhir seharusnya kita bisa melihat untuk memisahkan ibu dan anaknya. Dan sangat sedih sekali terkadang anaknya meninggal dari pemisahan ini,” jelasnya.
“Tapi di banyak kondisi sreperti ini, jika ibunya meninggal maka anaknya juga meningal karena ibunya adalah penunjang kehidupan si bayi. Jadi tidak ada jalan untuk menyelamatkan bayinya,” sambugn dia.
Miller juga mengamini, bahwa praktik aborsi bisa memberikan dampak negatif bagi kesehatan mental maupun fisik bagi sang ibu. Banyak perempuan yang nekat melakukan aborsi, namun belakangan mengalami penyesalan dan ketidaktenangan setelah tega membunuh janin yang ada di dalam kandungannya.
“Aborsi memberikan masalah psikologi, bisa menimbukan masalah kecemasan dan akhirnya bunuh diri. Bahkan banyak yang jatuh ke lingkaran penyalahgunaan narkoba atau mengonsumsi minuman keras dengan tidak bertanggung jawab,” kata Miller.
Menurutnya, aborsi juga memberikan konsekuensi negatif lainnya untuk tubuh, di mana kaum perempuan bisa mengakibatkan pendarahan hebat yang berujung pada infeksi. Masalah infeksi inilah, kata dia, bisa menyebabkan perempuan di masa mendatang kesulitan memiliki keturunan di kemudian hari.
“Banyak kaum perempuan yang melakukan aborsi pada kandungan pertama, lalu tidak bisa memiliki anak berikutnya, sehingga menimbulkan rasa sakit yang begitu besar bagi kehidupan perempuan itu,” ucap Miller.
Selain itu, aborsi juga bisa memicu kelahiran bayi prematur bagi kehamilan berikutnya. Bahkan, aborsi juga bisa mengancam kesehatan dan keselamatan bagi anak yang mengalami prematur.
“Aborsi juga bisa memecah belah (hubungan) keluarga, padahal keluarga merupakan hal yang penting. Keluarga adalah pelindung dan bisa memberikan rasa aman terakhir bagi kita,” ucapnya.
“Ketika tidak ada uang, tidak ada tempat tinggal, tidak ada makanan maka keluarga menjadi tempat di mana kita bisa meminta pertolongan itu,” lanjutnya. ***