Di dalam Konstitusi, lanjut Megawati, di pasal 24C ayat 1, diatur juga bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
“Ingat, Final… Final… Final. Bahasa kerennya final and binding. Coba loh, kalau ada orang menantang apa yang bunyi di pasal ini, berarti dia bukan orang Indonesia,” kata Megawati.
“Jadi amanat ini tidak bisa ditafsirkan lain. Karena itulah mengingkari keputusan MK sama artinya dengan pelanggaran terhadap konstitusi,” tegasnya.
Ia lalu menceritakan pengalaman dirinya sebagai saksi sejarah dan sekaligus korban, merasakan dampaknya ketika konstitusi disalahgunakan. Megawati sampai beberapa kali terlihat menahan emosi haru yang meningkat ketika bercerita tentang pengalamannya tersebut.
Dari situ, Megawati mengingatkan semua pihak bahwa meskipun Pemilu bersifat langsung, namun landasan etika dan moral politik itu sifatnya mutlak. Dan Indonesia itu negara hukum, bukan negara kekuasaan. Di atas hukum ada etika dan moral penyelenggara negara.
“Begitu pentingnya aspek etika dan moral itu, sehingga di Amerika Serikat misalnya, yang namanya pemimpin berbohong itu haram hukumnya. Hal yang sama juga berlaku untuk Indonesia. Atas dasar hal tersebut, boleh saja seseorang punya kepentingan terhadap kekuasaan, namun harus sesuai rules of the game; sesuai konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Ambisi kekuasaan jangan di pegang sendiri, lalu menjadikan pihak lain sebagai “wayang”untuk menyembunyikan kepentingan kekuasaannya,” urai Megawati.
“Kehidupan suatu bangsa bisa hancur berantakan jika tidak kokoh pada konstitusi. Karena itulah kita harus bersatu menyelamatkan negara hukum dan demokrasi. Inilah agenda politik terpenting saat ini. Pilkada jangan menjadi ajang manuver kekuasaan, lalu menghilangkan kontestasi yang sehat dan demokratis,” pungkasnya.