Hukum  

SANDERA

(Catatan Cak AT/Ahmadie Thaha)

SANDERA
Para Preman Membubarkan kegiatan diskusi yang digelar FTA/Sumber Foto: Pos Kota.
120x600
a

SALUT , dalam pekan-pekan ini polisi sudah menetapkan sembilan orang tersangka kasus premanisme terhadap acara diskusi Forum Tanah Air. Nama-nama mereka sudah dirilis. Sayangnya, Propam Polri yang memeriksa polisi-polisi yang terlibat belum terdengar kabarnya.

Terbaru, netizen membongkar praktek premanisme yang lebih tak masuk akal, di tempat yang sama. Para preman yang biasa dianggap sebagai “kacung jalanan” mendadak tampil layaknya “boss level” dalam video game politik Indonesia. Ya, benar. Preman! Mereka bukan hanya merusak ruangan, tapi juga “menyandera” tokoh-tokoh nasional yang sedang ingin berbincang santai.

Di sebuah negeri yang konon katanya demokratis, peristiwa diskusi publik harusnya menjadi rutinitas biasa, layaknya makan bakso di warung kaki lima. Namun, ternyata kali ini, diskusi bukan hanya dibubarkan, tapi bertransformasi diubah jadi ajang sandera.

Momen ini berawal dari peristiwa pada 29 September 2024 di Hotel Grand Kemang, Jakarta, saat Forum Tanah Air yang penuh wacana mulia hendak digelar. Diskusi yang seharusnya menjadi ajang tukar pikiran malah berubah menjadi film thriller tingkat kampung.

Preman-preman berseragam hitam dan memakai masker itu mendobrak masuk, mengacak-acak suasana, dan — plot twist-nya — aparat yang hadir hanya menonton dengan ekspresi datar. Mungkin mereka mengira ini adegan gladi resik untuk film laga, jadi lebih baik diam saja.

Preman pun tak mau tanggung-tanggung dalam aksinya. Mereka berkolaborasi dengan aparat, seperti pemain sepak bola dan wasit yang tiba-tiba memutuskan main dalam satu tim. Dengan segala keanggunan dan sikap otoritatif, mereka memberi dua pilihan kepada para peserta diskusi yang malang: bubar atau tetap tinggal dalam ruangan dengan pintu terkunci.

Sungguh pilihan yang bijaksana, bukan? Dalam situasi yang penuh tekanan, para peserta memilih tetap bertahan di dalam ruangan. Mungkin dalam benak mereka, “Tak apa disandera, berarti kita bisa melanjutkan diskusi dalam ruangan hotel berbintang.”

Namun, drama tidak berhenti di situ. Ketika acara sebentar dilanjutkan dengan jumpa pers, tiba-tiba ada yang sadar, dan tak terima —mungkin intel di dalam ruangan? Acara ini secara paksa mereka hentikan. AC pun dimatikan, mungkin agar peserta merasakan sensasi “sauna gratis” di ruangan yang panas.

Lalu, makan siang yang seharusnya dinikmati santai juga tak luput dari intervensi para preman. Mereka memerintahkan makan siang dimajukan ke pukul 11, dengan waktu makan hanya sepuluh menit.

Ini bentuk kontrol waktu yang brilian: siapa yang butuh menikmati makanan ketika Anda sedang dalam penyanderaan? Mungkin mereka juga ingin peserta segera selesai makan agar bisa kembali disandera dengan lebih fokus.

Dan tak lupa, ada sesi rekam-merekam. Preman-preman ini punya gaya yang mirip dengan paparazzi, merekam peserta diskusi saat makan. Apa yang mereka inginkan dari rekaman itu? Mungkin mereka ingin menunjukkan kepada dunia bahwa para peserta yang disandera tidak kelaparan.

Mereka ingin memperlihatkan pada dunia bahwa preman ternyata juga punya hati, bukan? Mereka mungkin ingin memastikan semua orang tahu bahwa meskipun disandera, mereka tetap diberi makan. Semacam paket penyanderaan plus logistik.

r

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *