JAKARTA, OTONOMINEWS.ID – Indonesia menyatakan keinginannya bergabung dengan BRICS. Sebuah aliansi ekonomi berbagai negara berkembang yang didirikan oleh Brasil, Rusia, India, China, lalu Afrika Selatan.
BRICS lahir dari kehendak untuk mengukir ulang peta kekuatan dunia, penyeimbang blok Barat yang telah lama mendominasi arsitektur keuangan dan perekonomian global lewat institusi seperti the World Bank dan IMF.
Pakar Ekonomi Hijau, Masyita Crystallin menilai bahwa keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS akan membuka kesempatan baru bagi Indonesia untuk lebih mudah dalam mengakses berbagai peluang kerja sama dengan negara-negara anggota, termasuk dalam hal inisiatif hijau.
Selain itu, keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS juga mencerminkan prinsip politik bebas aktif yang dianut negara ini. Melalui kebijakan bebas aktif, Indonesia memiliki fleksibilitas untuk menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan berbagai negara, tanpa terikat pada blok atau aliansi tertentu.
“Di bawah BRICS terdapat New Development Bank (NDB), lembaga yang menawarkan pembiayaan bagi proyek-proyek pembangunan berkelanjutan, sebagaimana fungsi World Bank. Bagi Indonesia, yang tengah bergegas mengejar ekonomi hijau, hal ini tentu menggiurkan,” kata Masyita, Rabu (30/10/2024)
Masyita menambahkan, di tengah dominasi lembaga keuangan Barat yang kadang menuntut lebih, kehadiran NDB dapat memberikan sumber pendanaan alternatif yang lebih fleksibel. Harapan untuk mempercepat transisi energi dan menurunkan emisi karbon jadi kian dekat.
“Di tengah lembaga keuangan Brettonnwoods yang lebih berkiblat pada negara-negara tertentu, kehadiran NDB dapat memberikan sumber pendanaan alternatif yang lebih fleksibel. Harapan untuk mempercepat transisi energi dan menurunkan emisi karbon jadi kian dekat,” ungkap Masyita.
Selain akses pendanaan, Indonesia juga diuntungkan dengan kesempatan transfer teknologi hijau dari negara anggota BRICS. Negara-negara seperti China, yang memiliki teknologi unggul dalam sektor energi surya dan angin, serta Brasil dengan biofuelnya, dapat menjadi mitra strategis Indonesia dalam meningkatkan kapasitas teknologi hijau.
“Indonesia bisa mempelajari teknologi biofuel berbasis minyak sawit dari Brasil, tetapi tetap harus memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan energi dan ketahanan pangan nasional. Keseimbangan ini penting agar tidak menimbulkan dampak negatif pada pasokan makanan dan kedaulatan pangan,” jelasnya.
Kendati menawarkan sejumlah peluang, keanggotaan Indonesia di BRICS juga tidak luput dari tantangan. Aliansi ini masih bergantung pada bahan bakar fosil, yang bisa menimbulkan dilema tersendiri bagi Indonesia dalam mencapai target hijau.