Sikap kestaria Prabowo, menurut Hasto, berbeda dengan sikap Jokowi, yang ketika ada pergantian ketum Golkar, mengatakan ‘saya tidak campur tangan’. Padahal semua tahu campur tangan melalui hukum kekuasaan.
Hasto mengaku mendapat informasi dari Edy Rahmayadi yang menerima banyak masukan, seperti penilaian bahwa kehormatan masyarakat Sumatera Utara telah dirusak oleh ambisi kekuasaan.
“Diusulkan ‘Bagaimana kalau kita shut -down kan saja tim pemenangan kita?’. Coba bayangkan, kalau Partai Coklat dibiarkan terus bergerak, buat apa Pilkada ketika semua sudah diatur?”
“Kalau di Jawa itu ada ungkapan, ‘nguntal negara’, menelan negara, menelan kekuasaan. Bayangkan kalau Pak Edy Rahmayadi-Hasan Basri Sagala dan seluruh tim kampanye, lalu mengatakan ‘Silahkan, daripada Pemilu sudah diatur, makan itu kekuasaan. Kau menangkan itu Sang Menantu dengan segala cara,” beber Hasto.
Menanggapi itu, kepada Edy, Hasto menyampaikan bahwa situasi itu mirip dengan suasana tahun 1997. Saat itu, Presiden Kelima RI Prof.Dr. Megawati Soekarnoputri tidak mau menggunakan hak pilihnya, karena Pemilu sudah diatur, dan munculah Mega Bintang.
Hasto mengatakan pihaknya mendapat laporan dari lapangan, bahwa apa yang terjadi dalam Pilpres telah diterapkan kembali. Kecurangan yang sifatnya terstruktur, sistematis, dan masif mencoba dijalankan.
“Sekali di Sumatera Utara ini kita membiarkan berbagai kesewenang-wenangan dalam demokrasi; sekali kita membiarkan berbagai kecurangan dalam Pilkada ini, maka sama artinya dengan kita membunuh masa depan Sumatera Utara.”
“Terus berjuang bagi demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, guna melawan ambisi kekuasaan dari raja, oleh Partai Coklat, dan untuk menantu Raja,” pungkas Hasto.