Selain kemandirian Prabowo, ujar Deddy, perbaikan dari sisi politik bisa terjadi ketika rakyat melakukan perlawanan dengan turun ke jalan terhadap kebijakan rezim yang negatif.
Dia mencontohkan saat gerakan rakyat untuk menolak Revisi UU Pilkada yang hendak mengakali putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 60/PUU-XXII/2024.
“Yang bisa mengubah para penguasa ini, kalau ada kerumunan dan ada HP, Pak. Kemarin Revisi Undang-Undang Pilkada yang bermaksud membegal putusan Mahkamah Konstitusi, bubar jalan, gara-gara apa? Banyak orang berkumpul di depan gedung DPR dan di berbagai kota. Bubar jalan. Bubar jalan,” katanya.
Deddy dalam acara turut mengungkapkan kemarahan melihat Prabowo Subianto diperlakukan tak pantas ketika Presiden RI itu diminta menyatakan dukungan ke kandidat tertentu di Solo untuk Pilkada Jawa Tengah (Jateng).
“Saya pribadi, saya tersinggung. Ketika Pak Prabowo diperlakukan kayak begitu di Solo, untuk dukung Jawa Tengah itu. Itu keterlaluan,” kata Deddy
Dia menilai langkah meminta Prabowo menyatakan dukungan ke paslon di Jateng masuk unsur penghinaan terhadap lembaga kepresidenan. Terlebih lagi, ada unsur paksaan dari ucapan sokongan.
“Itu bukan hanya menghina Pak Prabowo sebagai pribadi, tetapi lembaga kepresidenan, loh. Which is, enggak masuk akal buat saya,” ujarnya.
“Bayangkan kalau seorang Presiden bisa diperlakukan seperti itu. Apalagi kita ini, diinjak, Pak. Kan itu ini problemnya,” kata Deddy.
Dia mengatakan Prabowo saat ini memang tampak tidak punya kuasa dalam menjabat Presiden RI. Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) masih cawe-cawe terhadap kekuasaan yang dipegang Ketum Gerindra itu.
“Pusakanya sebagai Presiden itu, karena Pusaka itu kayaknya masih ditarik-tarik sama Pak Jokowi. Belum dipegang penuh, tuh,” ujarnya.