Muslim juga mendukung pemberian amnesti kepada napi kasus politik yang tidak melibatkan kekerasan. Termasuk napi yang terjerat pasal penghinaan presiden, yang ia harapkan sejalan dengan penghapusan pasal penghinaan presiden dalam UU KUHP terbaru.
Terkait wacana menjadikan napi penerima amnesti sebagai tenaga kerja swasembada pangan atau komponen cadangan, Muslim mengingatkan potensi eksploitasi. Ia menilai, pengalihan tersebut hanya boleh dilakukan jika diarahkan untuk pembinaan dan memberikan peluang kerja pasca-amnesti.
“Pengalihan tersebut harus memastikan pembinaan dan kesempatan kerja yang menunjang keberlangsungan hidup napi setelah bebas, bukan menjadi bentuk eksploitasi,” jelasnya.
Muslim menilai pemberian amnesti juga bisa menjadi solusi jangka pendek untuk mengurangi over kapasitas di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan). Selain itu, langkah ini dapat meringankan beban anggaran negara.
“Amnesti adalah langkah strategis untuk mengurangi beban kapasitas lapas yang sudah over kapasitas, sekaligus mengurangi anggaran negara,” ungkapnya.
Namun, ia menegaskan perlunya pembaruan sistem pemidanaan dalam jangka panjang. Termasuk, pendekatan yang lebih manusiawi seperti sanksi sosial, dekriminalisasi tindak pidana ringan, dan revisi UU Narkotika.
“Masalah struktural seperti over kapasitas memerlukan revisi kebijakan, termasuk implementasi sanksi alternatif yang lebih manusiawi. Pembaruan sistem pemidanaan adalah langkah yang harus diambil,” pungkasnya.[zlj]