Berdasarkan Perpres No. 76/2023 dan Perpres No. 201/2024, pemerintah menargetkan kenaikan penerimaan PPN dan PPnBM sebesar Rp 61,5 triliun pada 2024. Dengan kenaikan tarif menjadi 12 persen, target tersebut diharapkan naik menjadi Rp 133,8 triliun pada 2025.
Sebagian besar kenaikan target pendapatan PPN 2025 berasal dari PPN dalam negeri, yang diproyeksikan naik sebesar Rp 115,7 triliun, dibandingkan kenaikan Rp 31,0 triliun pada 2024. Ironisnya, target pendapatan PPnBM dalam negeri justru turun Rp 9,8 triliun.
“Secara implisit, target kenaikan pendapatan PPN dalam negeri yang tinggi sebagian adalah untuk mengkompensasi penurunan target pendapatan PPnBM dalam negeri,” kata Yusuf.
Yusuf juga menyoroti dampak kenaikan tarif PPN pada daya beli masyarakat, terutama kelas bawah dan menengah.
“Dengan kesenjangan ekonomi yang tinggi, optimalisasi penerimaan PPN seharusnya dilakukan tanpa menaikkan tarif. Pemerintah perlu fokus pada pemberantasan kejahatan perpajakan, seperti penggelapan omset penjualan dan restitusi fiktif, daripada membebankan tarif lebih tinggi kepada masyarakat,” tambahnya.
Kebijakan menaikkan tarif PPN di tengah penurunan target pendapatan PPnBM dinilai kontradiktif.
“PPN seharusnya menjadi alat untuk menciptakan keadilan fiskal, bukan sekadar sarana untuk mengejar penerimaan negara. Ironis jika pemerintah justru menurunkan target pendapatan PPnBM yang sejatinya ditujukan untuk barang mewah,” pungkas Yusuf Wibisono.[z]j]