Revisi KUHAP Amputasi Kewenangan Polisi? Haidar Alwi: Berakibat Fatal Bagi Penegakan Hukum di Indonesia

Revisi KUHAP Amputasi Kewenangan Polisi? Haidar Alwi: Berakibat Fatal Bagi Penegakan Hukum di Indonesia
Tokoh Toleransi Indonesia, Ir. R Haidar Alwi, MT.
120x600
a

JAKARTA, OTONOMINEWS.ID – Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) berpotensi memutilasi kewenangan Polri secara sistematis, sekaligus memberikan Kejaksaan kekuasaan absolut dalam sistem peradilan.

Jika dibiarkan, perubahan ini bisa menjadi titik balik yang menghancurkan keseimbangan hukum di Indonesia, di mana Polri dikerdilkan dan Kejaksaan menjadi satu-satunya otoritas penegak hukum tanpa pengawasan berarti.

Ir. R. Haidar Alwi, Mt, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menyoroti ancaman besar di balik revisi ini. Menurutnya, jika polisi hanya menjadi eksekutor tanpa wewenang penyelidikan dan penyidikan, maka Kepolisian Republik Indonesia secara de facto telah dikebiri dan dipaksa tunduk di bawah kekuasaan tunggal Kejaksaan.

Polisi Tak Lagi Bisa Menyelidiki Kasus Secara Independen

Salah satu perubahan paling berbahaya dalam revisi ini adalah hilangnya kewenangan Polri dalam menangani penyelidikan dan penyidikan perkara pidana.

Dengan kata lain, polisi tidak lagi memiliki kendali atas proses hukum yang mereka tangani sendiri. Semua tahapan kasus, sejak awal hingga akhir, akan berada di tangan Jaksa.

“Ini bukan sekadar pengalihan peran, tetapi bentuk pemangkasan besar-besaran terhadap otoritas kepolisian. Polisi akan kehilangan independensi, hanya bisa bergerak berdasarkan arahan Kejaksaan. Jika demikian, untuk apa lagi ada institusi kepolisian dalam sistem peradilan pidana?” tegas Haidar Alwi. (Sabtu, 15 Maret 2025)

Jika revisi ini diterapkan, Polri akan mengalami dampak fatal:

1. Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Hilang

Polisi hanya bisa bergerak jika ada perintah dari Kejaksaan. Semua langkah yang diambil dalam sebuah kasus harus mendapat restu Jaksa, termasuk penahanan dan pemanggilan saksi.

2. Polri Menjadi Alat Birokrasi, Bukan Lembaga Penegak Hukum

Dengan hilangnya peran investigatif, polisi hanya akan bertugas sebagai eksekutor teknis yang menjalankan perintah hukum tanpa independensi.

Lihat Juga :  Haidar Alwi: Politik Merangkul Prabowo Jangan Sampai Kebablasan

3. Kriminalitas Bisa Meningkat Akibat Lambatnya Proses Hukum

Tanpa wewenang penuh, polisi akan mengalami hambatan birokrasi dalam menangani kejahatan, terutama dalam situasi yang membutuhkan tindakan cepat.

“Jika polisi kehilangan hak untuk melakukan penyelidikan sendiri, siapa yang akan memastikan proses hukum berjalan dengan adil? Apakah kita siap menyerahkan sepenuhnya sistem hukum kepada satu lembaga tanpa ada mekanisme pengawasan?” tanya Haidar Alwi.

Kejaksaan Berubah Jadi Penguasa Tunggal di Dunia Hukum?

Di sisi lain, revisi ini justru memberikan Kejaksaan otoritas yang nyaris tak terbatas. Jaksa tidak hanya menjadi penuntut, tetapi juga mengambil alih fungsi penyelidikan dan penyidikan.

Dengan kata lain, Kejaksaan bisa menentukan kasus mana yang ditindaklanjuti, siapa yang harus diseret ke pengadilan, dan siapa yang bisa ‘diselamatkan’ tanpa intervensi dari pihak lain.

“Jika Kejaksaan memiliki kewenangan mutlak atas semua proses hukum, maka potensi penyalahgunaan kekuasaan akan meningkat drastis. Tanpa adanya kontrol dari kepolisian, Kejaksaan bisa dengan mudah dijadikan alat politik atau ekonomi bagi kelompok tertentu,” jelas Haidar Alwi.

Tiga ancaman utama dari monopoli hukum oleh Kejaksaan adalah:

1. Jaksa Bisa Mengontrol Siapa yang Dihukum dan Siapa yang Dibebaskan

Dengan kewenangan penuh, Kejaksaan memiliki kuasa untuk menghentikan atau mempercepat kasus sesuai kepentingan tertentu.

2. Peningkatan Kriminalisasi dan Politisasi Kasus

r

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

f j