JAKARTA, OTONOMINEWS.ID – Tokoh kerakyatan, R. Haidar Alwi, menyebut peran strategis Kepolisian Republik Indonesia (Polri) adalah manifestasi atau pengejawantahan dari amanat Reformasi 1998.
“Polri bukan sekadar institusi penegak hukum, juga representasi dari post-authoritarian statecraft,” kata Haidar dalam sebuah artikelnya, Minggu (13/4/2025).
Post-authoritarian statecraft adalah sebuah seni dan tata kelola negara pasca-otoritarianisme, yang menjadi indikator utama keberhasilan demokrasi prosedural di Indonesia.
Indonesia sebagai sebuah negara berhasil melepaskan diri dari bayang-bayang militer dan bergerak menuju pola institusional sipil.
“Polri mengemban mandat transisional yang sangat kompleks: menjaga keamanan dalam bingkai demokrasi, bukan dalam rezim koersif,” tandas Haidar.
Haidar Alwi juga menyebut istilah disembedded policing yang menggambarkan Transformasi Polri dalam dua dekade terakhir.
Disembedded policing adalah praktik kepolisian yang terlepas dari kontrol oligarkis dan tekanan oligopolistik kekuasaan.
Artinya, kata Haidar, kepolisian tidak lagi menjadi alat kekuasaan eksekutif yang membabi buta, tetapi menjadi pelayan hukum yang independen dan akuntabel.
“Dalam sistem tata negara modern, peran semacam ini bukan saja krusial, melainkan menentukan arah masa depan supremasi hukum dan legitimasi pemerintahan sipil,” ungkap Haidar.
Menurut Haidar Alwi, kepemimpinan Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo memberikan warna baru dalam dinamika transformasi kelembagaan Polri.
Dengan mengusung konsep Presisi (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan), Jenderal Sigit mencoba menggeser kultur kepolisian dari model reactive policing ke predictive governance.
Reactive policing artinya tindakan setelah kejadian. Sedangkan predictive governance bermakna sistem pemerintahan yang mampu membaca kecenderungan sosial dan mengintervensinya sebelum menimbulkan eskalasi.
“Dalam konteks ini, pendekatan kepolisian tidak lagi berkutat pada represi semata, melainkan masuk ke wilayah early warning system dan community engagement,” tandas Haidar.
Dalam praktiknya, pendiri Haidar Alwi Care (HAC) itu menjelaskan konsep keadilan restoratif (restorative justice) menjadi contoh konkret bagaimana Polri mengedepankan prinsip resosialisasi ketimbang kriminalisasi.
Misalnya, dalam kasus pidana ringan yang melibatkan masyarakat miskin atau remaja, penyelesaian konflik melalui mediasi dan pemulihan relasi sosial diutamakan daripada pemidanaan.
“Ini mengubah paradigma hukum pidana klasik yang selama ini bersifat retributif menghukum pelaku, menjadi korektif dan rehabilitatif,” tandasnya.
Haidar Alwi menilai, langkah Polri ini merupakan upaya konstruktif membangun budaya hukum baru yang lebih memanusiakan manusia.
Sementara itu, penanganan internal Polri terhadap kasus-kasus besar yang menyeret institusinya sendiri, seperti kasus pembunuhan Brigadir J, menunjukkan praktik institutional auto-correction.
Yaitu mekanisme koreksi dari dalam institusi sebagai bentuk kematangan moral organisasi.
Kata Haidar, penegakan hukum terhadap Irjen Ferdy Sambo dan kawan-kawan adalah ilustrasi paling mencolok bahwa Polri tidak lagi menjadi entitas impunitas (kebal hukum), tetapi justru berani menempatkan integritas kelembagaan di atas kepentingan personal.
“Ini adalah pelajaran yang sangat mahal, sekaligus bukti bahwa reformasi kultural sedang berjalan meski belum paripurna,” tukas Haidar.